JAKARTA | RESOLUSINEWS.COM | Interaksi politik antara Presiden Prabowo Subianto dan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri akhirnya terwujud melalui pertemuan di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat, Senin (7/4) malam. Pertemuan ini menjadi penanda penting dalam dinamika politik domestik pasca-Pilpres 2024, sekaligus membuka peluang perubahan sikap politik PDIP terhadap pemerintahan Prabowo-Gibran.
Sebelumnya, PDIP dan Prabowo berada di kubu berbeda pada Pemilu 2024. Prabowo menggandeng Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Jokowi, sebagai calon wakil presiden. Sementara itu, PDIP mengusung pasangan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD. Perbedaan ini membuat hubungan kedua tokoh menjadi lebih kompetitif, terutama dengan adanya keterkaitan keluarga antara Gibran dan Jokowi, yang dulunya merupakan kader PDIP.
Sejak saat itu, hubungan politik PDIP dengan Jokowi dan Gibran merenggang. Ketidaksinkronan antara keputusan politik PDIP dan langkah politik Jokowi-Gibran menimbulkan friksi internal maupun eksternal. Bahkan, komposisi kabinet Prabowo-Gibran pun dinilai mencerminkan pengaruh kuat dari Jokowi.
Dalam konteks ini, pertemuan antara Prabowo dan Megawati menjadi relevan untuk dibaca sebagai isyarat kemungkinan rekonsiliasi politik. Hal ini berpotensi mengubah arah dukungan politik PDIP ke depan.
Tidak Ada Masalah Substansial Sesungguhnya, tidak ada konflik utama antara Prabowo dan Megawati. Keduanya memiliki latar belakang dan hubungan historis yang cukup erat, bahkan pernah berpasangan dalam Pilpres 2009. Dari perspektif ini, pertemuan mereka terasa wajar, terutama dalam momentum politik yang menuntut konsolidasi kekuatan.
Namun, komunikasi politik antara keduanya sempat terhenti, terutama karena kabinet yang terbentuk pasca-Pilpres lebih mencerminkan kedekatan Prabowo dengan Jokowi dan Gibran.
Pertemuan ini terjadi karena adanya kebutuhan strategis. Pertama, kabinet Prabowo-Gibran tengah disorot akibat sejumlah kebijakan kontroversial yang dianggap merugikan rakyat kecil dan mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan. Kedua, tantangan global dan domestik menuntut pemerintah memiliki dukungan politik yang luas, termasuk dari PDIP yang secara resmi berada di luar koalisi.
Meski berada di luar pemerintahan, PDIP menunjukkan sinyal dukungan, seperti saat menyetujui revisi UU TNI—meskipun menuai kritik luas dari masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa posisi PDIP tidak sepenuhnya oposisi.
Pentingnya Merangkul PDIPMeskipun Prabowo telah menguasai parlemen, merangkul PDIP menjadi penting untuk menjaga stabilitas politik. Terlebih, PDIP adalah pemenang Pemilu Legislatif 2024, yang memiliki pengaruh besar terhadap arah kebijakan nasional.
Respons PDIP pun positif. Partai ini juga membutuhkan stabilitas internal menjelang Kongres pada April 2025. Ketegangan internal meningkat setelah Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Kekosongan posisi strategis ini menjadi rebutan dan membuka ruang manuver politik di internal partai.
Dalam situasi ini, pemerintah melihat pentingnya menjalin komunikasi dengan PDIP, khususnya melalui posisi Sekretaris Jenderal yang dapat menjadi jembatan antara partai dan pemerintahan Prabowo-Gibran. Simbiosis Politik Pada akhirnya, pertemuan Prabowo dan Megawati menunjukkan potensi simbiosis mutualisme. Selama ada konsensus politik yang sejalan, sikap oposisi PDIP dapat melunak, dan pemerintahan Prabowo-Gibran bisa melenggang dengan lebih mulus. Jika partai politik tidak menjalankan fungsi pengawasannya secara optimal, harapan terakhir tetap bergantung pada masyarakat sipil sebagai penyeimbang kekuasaan.
( Detik.com )